Aku berjalan keluar rumah untuk sekedar mengelilingi komplek setempat saat sore hari. Cuaca hari ini terlihat sangat baik daripada kemarin, aku pikir berlari disekitar komplek akan lebih menyenangkan dibanding aku harus pergi ke tempat biasa aku berlari atau bahkan ke gym.
Aku menyelonjorkan kedua kakiku upaya beristirahat sembari meminum air putih yang tadi aku beli. Seperti biasa, para ibu di sore hari selalu berkumpul bersama sambil membeli sayur. Aku mencoba menghiraukan hal itu, tetapi kalimat tajam kerap memaksaku untuk mendengar hal itu.
“Lihatlah, anak tak tahu diri dan kurang ajar yang selalu nakal. Mengambil nyawa ibu nya lalu tumbuh.” Cibir ibu-ibu disana.
“Iya, papa nya kewalahan mengurusnya pasti. Pak Jeandra pasti selalu kecewa pada anak itu.”
Begitu kata mereka terang-terangan berbisik diantaranya, yangmana masih terdengar dari tempat mereka berdiri dan tempatku duduk beristirahat. Aku lantas bangun berusaha meninggalkan tempat itu, daripada emosiku kembali terkumpul dan membuat keributan lagi dan lagi lebih baik aku meninggalkan tempat itu dengan perasaan campur aduk, tangan mengepal keras.
Aku belum pernah melihat ibuku secara langsung, diurus dan dibelai sekalipun juga tak pernah.
Ibu pergi setelah berhasil melahirkanku ke dunia ini, bahagia, sedih, mereka rasakan terutama Ayah ketika mendengar diriku hadir kedunia. Namun, Ibu pergi begitu cepat membuat keadaan berputar begitu cepat dari senang menjadi sedihan. Ayah kehilangan arah setelah ditinggal sang pujaan hati yang telah lama mengandungku selama 9 bulan. Mata pria paruh baya itu tak bisa bohong, sampai sekarang kesedihannya masih terasa tiap kali ia mengunjungi makam Ibu bersamaku.
Pergi Ibu, adalah kesalahanku yang berani lahir kedunia lalu mematikan seseorang yang telah lama hidup, tak sopan. Dan aku selalu menganggap hadirnya diriku adalah malam petaka bagi siapapun itu terutama Ayahku, Jeandra.
“Gue harusnya ngga lahir…. Tuhan. Kenapa harus Ibu, kenapa bukan gue yang di bawa pergi….,”
Alkohol habis ia minum entah berapa teguk terasa, gelas yang di teguk berkali-kali tak sebanding dengan kesedihanku kali ini, dua botol pun kurang. Air mata, raungan keras tak lagi terucap, cukup diam dan merasakan segala kesedihan itu lebih menyakitkan nyatanya. Percayalah, orang yang sedihnya diam, lukanya lebih menyakitkan daripada mereka yang terus teriak.
Seseorang tiba-tiba menghampiriku, melempar ponselnya keatas meja sembarang. Kepalaku pusing berusaha mendongkakan pandanganku pada orang tersebut, dia Aldo.
“Nangis, lo juga manusia.” Bisik Aldo mengelus-elus punggungku pelan.
“Do…., Harusnya gue ngga lahirkan, kalo gue ngga lahir pasti ibu masih sama ayah disini, kan….?” lirihnya, “Kenapa tuhan jahat ambil kebahagian ayah ya, Do….,”
“Mereka bilang gue anak ngga tahu diri, anak sialan, anak — ah sialan anjing!” Teriakku tanpa henti lalu kembali meraih gelas berisi minuman itu.
Aldo tak berkutik, ia hanya diam mendengar segala ocehanku yang sekarang sudah setengah sadar sebab alkohol. Temanku paham tentang apa yang terjadi pada masa-masa sulitku, terutama ketika aku kian merasa bersalah atas kepergian Ibu.
“Lo harusnya berterimakasih, karena Ibu lo udah berjuang sekuat tenanga buat ngelahirin lo. Ajal seseorang ada di tangan tuhan, ngga ada yang bisa ngubah kehendak tuhan segampang itu, Jodan.” Kata Aldo padaku sambil menarik gelas itu lalu menaruhnya diatas meja kembali.
Aku hanya diam menatap langit-langit, kenapa hadus Aldo yang tahu aku akan sehancur ini ditengah dinginnya malam hari. Rasa bersalah selalu menghantui.
“Ibu lo juga mau bahagia disana, Jod. Kalo lo bilang kayak gini terus dia bakal sedih. Anak yang mati-matian dia kandung malah ngomong gini, Ibu mana yang ngga sedih — Walau beliau udah ngga ada, tapi dia masih punya hati. Jangan sesekali lo ngeluh sama tuhan kayak gini.”
“Tapi Do, gue yang udah bunuh Ibu gue sendiri…. Semua orang selalu ngomong gue anak sialan.”
“Dengerin gue. Om Jeandra udah berdalam sama semuanya, jadi mohon udah tetap hidup ya anjing! Yang harusnya lo lakuin adalah bikin bangga bokap lo, bukannya mabok ngga jelas kayak gini, monyet.” Umpat Aldo menepuk-nepuk pipiku keras.
Pipiku panas, wajahku memerah, begitupun mataku sebab alkohol yang aku minum entah berapa banyaknya. “Gue ngga salah, kan, Do…. Ada dan lahir kedunia…,” ucapku menatap kedua mata temanku dalam berusaha meyakinkan ucapan itu.
“Ngga. Lo lahir itu, takdir yang abadi dari tuhan. Semua orang berhak hidup. Kasih yang terbaik untuk Ayah lo di kemudia hari tanpa bikin dia nyesel akan adanya dan lahirnya lo disini.”
“Kasih gue kata-kata toxic.”
Aldo menempeleng kepalaku kencang. “Kalo lo ngerasa ngga berguna, setidaknya lo tetap lebih berguna orang tua lo, goblok!”
Aku menelan ludah kasar, kepalaku masih terasa sakit.
Semenjijikan apapun diriku, aku masih tetap pantas di sayangkan, Yah?